Minggu, 13 Mei 2012

Sagio, Teguh Hati dengan Wayang
 
ILUSTRASI
Banyaknya permintaan membuat Sagio mempekerjakan hingga 40 orang di bengkelnya. Dia mendidik dan merekrut pula orang-orang di desanya untuk membuat wayang.
HEADLINE NEWS - Di tengah kian langkanya pelaku tradisi, Sagio, warga Dusun Gendeng, Bangun Jiwo, Bantul, DI Yogyakarta, berteguh hati menjalani usahanya membuat wayang kulit. Puluhan tahun Sagio bertekun, melewati ”zaman keemasan” dan menghadapi masa penuh pergulatan.
Begitu menjejakkan kaki di rumah Sagio di Dusun Gendeng, atmosfer ”serba wayang” terasa. Ruang depan rumah Sagio sekaligus menjadi ruang pajang wayang kulit, lukisan wayang, dan berbagai kerajinan kulit lainnya. Dari bengkel di samping ruang pajang itu, suara palu yang menghantam alat pahat di atas lembaran kulit sayup terdengar. Di ruang terbuka itu berbagai tokoh wayang kulit dilahirkan.
Wayang kulit terbuat dari kulit kerbau yang direndam semalaman, dikeringkan, dan ditipiskan dengan sayatan pisau. Lembaran kulit yang hampir tembus pandang itu lalu digambar mengikuti pola tokoh wayang yang diinginkan. Kemudian kulit pun ditatah dan diwarnai.
Wayang kulit buatan Sagio memperhatikan detail dan halus pahatannya. Ada sekitar 250 tokoh wayang pernah digambar dan dipahat Sagio. Kepala negara, menteri, dan pelanggan dari luar negeri sering memesan karyanya untuk koleksi, buah tangan, bahkan disimpan di museum pada era 1980-an sampai akhir 1990-an.
Wayang yang digemari umumnya tokoh-tokoh kisah Ramayana dan Mahabharata, yang
kerap diangkat dalam sendratari. Pada masa itu, wayang-wayang produksi Griya Ukir Kulit milik Sagio dijual pula di gerai department store kelas atas Jakarta dan hotel-hotel berbintang.
Banyaknya permintaan membuat Sagio mempekerjakan hingga 40 orang di bengkelnya. Dia mendidik dan merekrut pula orang-orang di desanya untuk membuat wayang.
”Dalam setahun, dua pemuda nyantrik, belajar membuat wayang. Mereka tinggal di rumah saya,” ujarnya.
Sagio menurunkan ilmu memahat dan mewarnai wayang yang dimilikinya kepada sekitar 50 pemuda, mulai tahun 1971 hingga 1997.
”Supaya kampung saya menjadi kampung wayang. Anak-anak itu belajar bermodal kemauan dan ketekunan, tak usah membayar,” katanya.
Menatah atau memahat wayang yang detail, halus, dan sesuai dengan pakem tokoh wayang tertentu membutuhkan waktu. Belum lagi pekerjaan mewarnai alias menyungging dengan cat akrilik. Satu gunungan, misalnya, baru tuntas dikerjakan sekitar 1,5 bulan. Tak heran jika harganya mencapai jutaan rupiah.
”Untuk satu tokoh Kresna yang berstandar tinggi dan berukuran sedang, perlu sekitar 10-15 hari penggarapan. Berbeda dengan wayang cendera mata berukuran sama yang bisa dikerjakan lima buah dalam sehari,” ujarnya.

Tahun 1990, Sagio mendapat anugerah Upakarti dari Presiden Soeharto atas pengabdiannya, serta penghargaan seni dari Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia pun mendapat kesempatan berpameran keliling dunia, antara lain ke Taiwan, Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Perancis, Selandia Baru, China, Italia, dan Jerman.
Untuk membagikan ilmunya, Sagio menulis buku Wayang Kulit Gagrag Yogyakarta; Morfologi, Tatahan, Sunggingan dan Teknik Pembuatannya bersama adiknya, Samsugi. Sebanyak 178 gambar tokoh wayang dalam buku itu dia gambar sendiri. Sagio selalu menggambar sendiri tokoh wayangnya di kertas berukuran A3.
Jadilah gambar wayang berwarna-warni memenuhi meja kerjanya. ”Saya malah senang kalau gambar saya difotokopi dan dipakai sebagai pola oleh perajin lain. Itu artinya tetap ada orang yang menatah wayang,” ujarnya.
Dari ayah
Sagio belajar membuat wayang dari sang ayah, Jaya Perwita, perajin wayang. ”Sejak kecil saya sudah senang wayang. Saya suka membuat wayang dari daun singkong dan rumput,” kata Sagio yang mulai membuat wayang kulit sejak usia 11 tahun.
Zaman Sagio kecil, belum ada hiburan dari televisi atau akses internet. ”Satu-satunya hiburan, ya, wayang dan sejak saya masih kecil lihatnya itu saja. Jadi, (wayang) sudah tertanam dalam diri saya. Sekarang, begitu bayi lahir sudah melihat televisi, internet, dan handphone, hiburannya sudah lain,” tuturnya.
Tahun 1967 hingga 1975, Sagio memperdalam keterampilan memahat wayang dengan berguru kepada seorang empu wayang, MB Prayitna Wiguna alias Mbah Bundu dari Keraton Yogyakarta. Menyelami ilmu membuat wayang dari empu wayang keraton membuka kesempatan baginya untuk mengamati wayang bertatah halus dan pertunjukan kelas keraton. Jalan hidup mendekatkannya dengan keraton. Ia lalu diangkat sebagai abdi dalem Keraton Ngayogyakarta.
Sagio menganggap wayang tak semata hiburan. ”Wayang itu gambaran karakter manusia,” ujar pengagum tokoh Hanoman ini.
Ia mengistilahkan Hanoman sebagai ”jenderal kera”. Tokoh ini merupakan cerminan sifat yang tak pernah gagal melaksanakan tugas, mempunyai harga diri, tahu diri, dan tak sombong. Di mata Sagio, kisah pewayangan dan sifat tokoh-tokohnya mengandung tontonan, tuntunan, dan tatanan hidup.
Tetap setia
Kisah kerajinan wayang sebagai sumber penghidupan berubah sejak krisis moneter tahun 1997 dan ledakan bom Bali tahun 2002. Peristiwa itu memurukkan industri pariwisata. Turis asing enggan berpelesir ke Tanah Air.
Usaha kerajinan, termasuk wayang kulit, pun ikut terpukul. Apalagi, 75 persen pembeli karya dari Griya Ukir Kulit adalah turis asing. Sagio bertahan dengan pembeli dari dalam negeri dan penjualan berbagai cendera mata berbahan kulit.
Bengkel milik Sagio pun menjadi sepi lantaran hanya tersisa lima orang pembuat wayang. Di Dusun Gendeng yang sejak lama terkenal sebagai dusun pembuat wayang, alat pahat dan kuas pewarna pun ditinggalkan.
”Mereka alih profesi menjadi pekerja bangunan atau cleaning service. Dulu, ada sekitar 150 perajin, sekarang tersisa sekitar 50 orang saja yang membuat wayang. Saya iba, tetapi tak punya kekuatan apa-apa. Zaman sudah berbeda,” ungkapnya.
Kekhawatiran terbesar Sagio adalah terputusnya generasi pembuat wayang. Perajin wayang kulit, kata Sagio, umumnya belajar otodidak dari perajin lain.
”Kalau keterampilan ini ditinggalkan, 25 tahun ke depan bisa jadi tidak ada lagi orang yang akan membuat wayang. Dulu, daerah Kedu dan Kaligesing, Purworejo, terkenal dengan wayang yang tatahannya bagus, sekarang tinggal kenangan. Di Dusun Gendeng, mungkin akan begitu juga lama-kelamaan,” paparnya.
Hal itu pula yang mendorong Sagio tetap setia menggambar dan memahat wayang. Meski tidak ada pesanan pun, dia tak ingin meninggalkan wayang yang telah menyatu dengan hidupnya.

Minggu, 06 Mei 2012

Jurnalisme Itu adalah Kehidupan Saya
 Sabam Siagian
HEADLINE NEWS - Jika merujuk pada kata-kata bijak, ”Life begins at forty” atau kehidupan dimulai pada usia 40 tahun, Sabam Siagian mulai hari ini memasuki periode kedua dari kehidupannya. Sabam yang Jumat (4/5) kemarin memasuki usia 80 tahun, hari ini mulai meniti hari pertama dari usianya yang ke-81.
Pada periode kedua dari kehidupannya itu, ia banyak mengisi waktu dengan membina wartawan-wartawan muda agar dapat melakukan tugasnya secara profesional. Selama tiga tahun belakangan ini, ia turut berpartisipasi dalam kursus singkat (short course) terkait sekolah jurnalisme Persatuan Wartawan Indonesia yang berlangsung dua minggu. Topik yang dibahas adalah Hubungan Media dengan Pemerintah.
”Dari kursus-kursus singkat itu, yang kebetulan pesertanya wartawan muda dan paruh karier, saya mengetahui bahwa pada hakikatnya wartawan-wartawan itu memiliki iktikad baik. Hanya saja kondisi lingkungan di mana mereka bekerja tidak memungkinkan mereka bekerja secara profesional,” ujar Sabam.
Menurut dia, bagi wartawan yang bekerja di Jakarta, situasinya berbeda. Relatif mereka dapat menjalankan tugas dengan leluasa karena kebebasan pers terjamin. Berbeda dengan yang di daerah, terutama di luar Jawa.
”Kondisinya jauh berbeda,” katanya. Sangat sulit bagi mereka untuk menjalankan tugas secara profesional. Jika mereka tidak hati-hati, bukan tidak mungkin keselamatan jiwa mereka pun terancam.
Seperti diketahui, otonomi daerah membuat para bupati atau wali kota mempunyai kekuasaan yang sangat besar. Mereka dapat memberikan izin konsesi tambang (batubara), dan sekian ton batubara dibawa ke luar. Ketika salah seorang wartawan daerah bermaksud meliput aktivitas itu, ia dipukul oleh petugas satpam (satuan pengamanan),” kata Sabam.
Ia menambahkan, ”Ketika wartawan itu bertanya kepada saya, bagaimana ia harus meliputnya? Saya hanya bisa menasihatinya agar jangan meliput seorang diri. Ajaklah beberapa kawan, terutama koresponden koran-koran besar Jakarta di daerah. Tujuannya, agar dia tak diperlakukan (penguasa daerah) sewenang-wenang.”
Ancaman bagi wartawan daerah untuk bekerja secara profesional tak hanya tindak kekerasan, tetapi juga ”dibeli” dengan uang sehingga pisau analisis kritisnya menjadi tumpul.
Sabam yang pernah menjabat sebagai Wakil Pemimpin Redaksi Sinar Harapan (1973-1983) dan Pemimpin Redaksi The Jakarta Post (1983-1991) sangat prihatin dengan keadaan yang membelit profesi wartawan di daerah.
Itu sebabnya pada hari ulang tahunnya yang ke-80, yang dirayakan di Lobby Lounge Bima Sena, Hotel Dharmawangsa Jakarta, Sabtu siang ini, ia meluncurkan buku Melacak Makna dalam Peristiwa: Kumpulan Selektif Kolom-kolom 2006- 2009, yang ditulisnya di beberapa media massa.
”Buku ini saya dedikasikan bagi generasi muda wartawan Indonesia agar mereka memegang teguh prinsip keprihatinan, keadilan, dan keseimbangan permberitaan,” ujar Sabam penuh semangat. Perayaan yang diadakan pukul 11.00-14.30 itu didahului kebaktian pengucapan syukur pukul 11.00-12.00.
Turun ke lapangan
Sebagai Pemimpin Redaksi The Jakarta Post (1983-1991), Sabam rajin turun ke lapangan untuk meliput peristiwa penting, terutama yang berhubungan dengan masalah internasional. Itu sebabnya wartawan- wartawan yang meliput masalah internasional tahun 1983-1991 pasti mengenalnya dengan baik.
Dengan berbekal notes dan bolpoin, dengan rajin ia mencatat berbagai informasi yang dianggapnya penting di dalam jumpa pers. Kadang-kadang ia juga membawa tape recorder yang agak besar pada jumpa pers tokoh-tokoh penting.
Ia juga tidak segan-segan menegur wartawan muda yang dianggap bekerja secara tidak profesional. Saya pernah mengalaminya pada pertengahan April 1986 saat meliput jumpa pers Menteri Luar Negeri Amerika Serikat George Shultz menjelang kunjungan Presiden AS Ronald Reagan ke Bali. Ketika itu, sebagian besar pertanyaan yang diajukan wartawan kepada Shultz berkisar tentang bocornya reaktor nuklir Uni Soviet di Chernobyl. Hanya sedikit pertanyaan yang diajukan tentang kunjungan Ronald Reagan ke Bali.
Selesai mengirim berita ke Redaksi Kompas di Jakarta, saya dan beberapa wartawan berkumpul di kamar Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Harian Kompas Jakob Oetama di Hotel Santika, Kuta, Bali. Pak Jakob bertanya, bagaimana tentang jumpa pers George Shultz. Apakah cukup ramai? Saya menjawab, ”Isi jumpa pers itu 80 persen tentang Chernobyl, hanya 20 persen tentang kunjungan Reagan ke Bali.”
Sabam langsung memotong ucapan saya, ”Dari mana kamu tahu bahwa pertanyaan tentang Chernobyl itu sampai 80 persen.” Saya menjawab, ”Saya hanya mengira-ngira.” Sambil membuka-buka notes dan memeriksa catatannya, ia mengatakan, ”Dalam jumpa pers itu, ada 15 pertanyaan, dan 12 di antaranya tentang Chernobyl.” Untunglah ketika dihitung, perkiraan saya betul, yakni 80 persen.
Sabam langsung menambahkan, ”Wartawan itu, mau dia itu pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, atau redaktur, jika turun ke lapangan, harus bertindak sebagai reporter. Ia harus mencatat semua informasi penting dan menajamkan informasi itu jika belum jelas.”
Saya menyadari bahwa saya melakukan kesalahan. Itu sebabnya nasihat itu saya pegang teguh hingga saat ini.
Di sisi lain, Sabam yang cukup populer di kalangan pejabat tinggi negara dan kalangan diplomatik tidak segan-segan memanggil wartawan muda dan memperkenalkannya kepada tokoh-tokoh penting. Ia juga tidak segan membagi informasi penting yang baru diterimanya.
Pernah suatu ketika, dalam suatu kunjungan ke Washington DC, Sabam menerima informasi penting. Ia memanggil saya keluar dari rombongan dan pura-pura menunjuk ke salah satu barang yang dipajang di toko. Padahal, ia tengah membocorkan informasi yang sama sekali tidak berhubungan dengan barang yang ditunjuk-tunjuknya.
Sabam juga aktif berpartisipasi dalam seminar-seminar internasional yang diselenggarakan Centre for Strategic and International Studies di berbagai negara. Namun, ia kerap menjadi bahan ledekan di antara rekannya, seperti Fikri Jufri, August Parengkuan, dan Jusuf Wanandi, karena ia selalu membawa mesin ketik ke mana-mana. Padahal, rekan-rekannya sudah menggunakan laptop. ”Kalau saya tidak mendengar suara mesin ketik, ide besar saya tidak keluar,” ujarnya sambil tertawa.
Menurut pengakuannya, ia masih tetap tidak dapat menggunakan komputer. ”Kalau sekretaris saya tidak masuk, ancur deh...,” katanya.
Kepakarannya sebagai pengamat masalah internasional menjadikannya sempat digunjingkan akan menjadi Duta Besar Indonesia untuk Vietnam. Namun, ternyata ia malah menjadi Duta Besar Indonesia untuk Australia (1991-1995). Dari sana, ia menjadi anggota MPR dari Utusan Golongan (1999-2004). Kemudian menjadi Editor Senior The Jakarta Post (2005 hingga kini).
Dalam pembahasan di Redaksi Kompas, Jumat, Sabam Siagian mengemukakan kegundahannya. Ia merasa salah diterima oleh saudara-saudaranya sehubungan dengan kehidupannya dengan istrinya, Stella Maris Siagian, yang menderita penyakit Alzheimer sejak 7 tahun lalu. Saat ini, Stella dirawat di rumah perawatan (care house) di Singapura dan kondisinya dimonitor dengan saksama selama 24 jam. ”Ia ditunggui anak saya, Batara Bonar Siagian, yang berkerja di sana,” katanya. Putra sulungnya, Tagor Malasak Siagian, tinggal di Jakarta.
”Ada yang menganggap, sebagai suami, saya harus menunggui istri terus-menerus. Namun, sebagai suami, saya juga harus menjalani kehidupan saya sehari-hari, bukan duduk berpangku tangan dan menangisi keadaan. Saya memilih yang kedua, di mana saya menjalani kehidupan saya yang tak pernah lepas dari jurnalisme,” ujarnya.

Selasa, 01 Mei 2012

Laki-laki Penenun dari Tapanuli Selatan
Advenius Ritonga
Pada awal tahun 1980-an, masyarakat Siporok, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, masih percaya, laki-laki yang berprofesi sebagai penenun bakal menimbulkan bencana. Advenius Ritonga (50) mendobrak tradisi bahwa menenun adalah pekerjaan perempuan.
Dobrakan Adven di kemudian hari ternyata membuat Tapanuli Selatan memiliki kain tenun khas. Tidak itu saja. Bahkan, pegawai negeri sipil yang bertugas di kabupaten tersebut kini memiliki seragam tenun khas Tapanuli Selatan yang diproduksi di Silungkang, Sipirok, kampungnya.
Mendobrak tradisi bukanlah perkara gampang. Apalagi di tengah tradisi masyarakat yang sudah turun- temurun. Gara-gara menenun, rumah Adven pernah dilempari batu oleh para tetangga sekampungnya. Dia tidak dianggap anak oleh orangtuanya sendiri. Tidak itu saja, tiap hari yang ia dengar adalah makian dari mereka yang tidak bisa menerima seorang laki-laki menenun.
”Saya dulu menangis setiap hari dan berdoa supaya tenun bisa dipandang orang,” kata Adven menceritakan nasibnya pada awal tahun 1980.
Sebenarnya kecintaan Adven pada tenun bukanlah karena upayanya melestarikan tenun atau keinginan lainnya. Kenekatannya mendobrak tradisi dengan menenun itu semata-mata karena desakan ekonomi. Menjelang remaja, pria lulusan sekolah dasar itu mulai mengenal rokok. ”Zaman dulu, kalau enggak merokok kan, tidak dianggap laki-laki,” kata Adven.
Kebutuhan untuk membeli rokok itu membuat dia pusing karena ekonomi keluarganya pas-pasan. Sementara sebagai remaja, dia sendiri tak berpenghasilan karena tidak bekerja. ”Lama-lama saya bisa berbuat jahat karena tak punya uang,” katanya.
Saat itu ia tengok para tetangga, banyak ibu yang membuat ulos dengan alat tenun tradisional atau gedogan. Adven pun mulai mendekati mereka dan belajar bagaimana cara menenun. Karena laki-laki dianggap tabu menenun, ia pun mempelajari diam-diam, lalu mencatatnya di rumah. Setelah ilmu ia dapat semua, ia mengambil beras ibunya satu kaleng dan menjualnya ke pasar. Hasil penjualan beras itu ia belikan seperangkat alat tenun.
Keluarganya ternyata tidak mendukung niat Adven menenun. Alat tenun itu dilempar dari kamarnya di lantai dua ke lantai satu oleh ibunya. Bahkan, orangtuanya pun tidak memberi jatah makan.
Namun, dia tidak menyerah. Diam- diam ia tetap menenun dan hasilnya dia jual ke pasar. Jual satu, beli bahan lagi, begitu seterusnya. Suatu hari, ketika keluarganya sedang paceklik, dia meletakkan uang penjualan hasil tenunannya di atas koper barang berharga. Ternyata diambil orangtuanya untuk membeli beras. ”Mama saya menangis. Mulai saat itu, saya diterima keluarga sebagai penenun,” kenangnya.
Mulai dikenal
Rupanya hasil karya Adven mulai dikenal masyarakat, khususnya pada tahun 1983 saat Direktur Utama PT Pupuk Kaltim James Simanjuntak hendak menikahkan anaknya. Ia mencari tenun ulos terbaik di Tapanuli Selatan dan menemukan di Pasar Sipirok. Penjual mengatakan, itu karya Adven. Keluarga James pun mencari Adven dan memesan ulos dengan warna khas Karo tetapi bermotif Tapanuli Selatan.
”Saya cari bahannya ke Balige (Tapanuli Utara). Lalu, hasilnya kami kirim melalui pos ke Jakarta. Beliau kirim dananya dengan wesel,” kata Adven.
Ulos karyanya semakin mendapat perhatian. Ulos hasil tenunannya pernah masuk salah satu acara televisi, ”Dian Rana”, di TVRI dan dipersembahkan untuk Presiden Soeharto pada tahun 1983.
Tahun 1985, pemerintah meliriknya dan mengirim Adven untuk mengikuti pelatihan menenun. ”Ada 40 orang yang ikut, cuma saya yang lulus,” katanya.
Adven juga menciptakan ulos dengan manik-manik dan membuat motif pohon beringin dengan daun dan akar serta motif rumah adat atau Haruaya Namardomubulung. Keberaniannya mengubah tradisi itu membuat ia pun disidang oleh adat di Balai Desa Pasar Siporok.
Ia juga mencoba ulos berbahan polister yang bisa memungkinkan ulos dicuci sebab selama ini ulos tak bisa dicuci. Ia pun belajar tidak hanya menenun dengan gedokan, tetapi juga dengan alat tenun bukan mesin (ATBM).
Hasil pekerjaannya yang rapi membuat ulos karyanya dicari banyak orang, termasuk para pejabat. Bahkan, Megawati Soekarnoputri, saat menjabat presiden, juga memiliki ulos hasil tenunan Adven.
Tenun khas Tapanuli Selatan akhirnya muncul menjadi pakaian dinas pegawai negeri sipil di kabupaten itu pada masa kepemimpinan Bupati Tapanuli Selatan Ongku P Hasibuan 2005-2010. Semua itu bermula saat istri Bupati, Ny Anna Ongku Hasibuan, tahun 2007 datang ke rumahnya dan memintanya memproduksi tenun untuk baju seragam PNS Tapanuli Selatan.
Untuk memenuhi pesanan tersebut, ia mendesain motif tenun dengan 20 macam warna. Dari desain-desain itulah, terpilih satu warna coklat muda yang kemudian dipakai untuk seragam PNS di Kabupaten Tapanuli Selatan.
Untuk memadukan warna-warna itu, Adven menimba ilmu dari desainer kondang, seperti Samuel Wattimena dan Merdi Sihombing. Kedua desainer terkenal tersebut sengaja didatangkan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan untuk memberi pelatihan kepada Adven dan para penenun lain. Hasil tenunan Adven yang lain juga digunakan sejumlah selebritas negeri ini.
Lalu, bagaimana cara memproduksi 8.000 potong kain kebutuhan PNS di Tapanuli Selatan? Pemerintah Kabupatan Tapanuli Selatan saat itu memberi modal pertama sebesar Rp 100 juta. Adven menggunakan uang tersebut untuk membeli 10 unit ATBM. Tidak itu saja, ia juga harus memberi pelatihan kepada banyak orang untuk belajar menggunakan ATBM.
”Ada untung, beli ATBM lagi, begitu seterusnya hingga ada 50 unit ATBM di Sipirok,” papar Adven. Kini ada sekitar 100 perajin yang bisa menggunakan ATBM dan memproduksi tenun khas Tapanuli Selatan di Sipiriok.
Adven, dengan dibantu sejumlah penenun, kini bisa memproduksi 50 lembar kain setiap hari. ”Kami masih berharap ada bantuan untuk pelatihan menjahit supaya semakin banyak yang terbantu ekonominya,” katanya.
Sehelai ulos buatannya dijual Rp 180.000-Rp 400.000. Ada juga yang dijual Rp 1,5 juta per helai, bergantung pada kehalusan bahannya.
Meskipun karyanya digunakan banyak orang, Adven tetap bapak yang sederhana, yang tetap pergi ke ladang seperti layaknya petani di desa.

Sabtu, 28 April 2012

"Warisan Terakhir" Opera Batak
Zulkaidah Harahap 
Di atas panggung kayu dengan latar belakang panggung yang semakin kusam, Zulkaidah Harahap memainkan serunainya dengan lincah. Meski hatinya gundah, dia ingin penonton tetap terhibur dengan musik, nyanyian, dan tariannya. Dalam benaknya terpikir bahwa esok hari ia harus meninggalkan panggung yang telah lama membesarkannya.
Malam itu, sekitar pertengahan tahun 1984, adalah malam terakhir bagi Zulkaidah tampil bersama Seni Ragam Indonesia atau Serindo, grup Opera Batak yang sudah malang melintang sejak tahun 1925. Usianya masih 37 tahun kala itu.
Tumpukan utang yang harus dia tanggung membuat perempuan seniman ini tidak kuat lagi mempertahankan satu-satunya grup Opera Batak terbesar yang pernah ada di Sumatera Utara.
”Saya lari ke Jakarta karena dikejar-kejar utang. Saya tinggalkan semua; panggung, suami, lima anak, dan awak panggung. Serindo semakin lama semakin surut, sementara awak panggung tetap harus dihidupi,” katanya mengenang.
Pertengahan April, Zulkaidah bersama Alister Nainggolan tampil kembali di panggung Opera Batak di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Bersama seniman muda lainnya yang tergabung dalam Pusat Latihan Opera Batak (PLOT), yang dipimpin seniman muda Thompson Hs, Zulkaidah memperkenalkan kembali Opera Batak kepada masyarakat.
Opera Batak adalah pertunjukan sandiwara panggung yang sudah dikenal masyarakat Batak Toba secara turun-temurun. Ketika orang Belanda masuk ke Pulau Samosir pada awal abad ke-19, mereka menjuluki sandiwara tradisional itu dengan nama opera (gaya) Batak, atau kemudian dikenal sebagai Opera Batak.
Kisah yang diangkat dalam Opera Batak umumnya tentang lakon legenda, mitos, cerita kepahlawanan, atau cerita keseharian masyarakat setempat.
Serindo adalah grup Opera Batak yang melegenda di Indonesia. Salah satu pendirinya adalah almarhum Tihang Gultom. Dia membesarkan kelompok sandiwara ini dari pentas di beberapa kampung saja. Oleh karena banyak diminati masyarakat, Serindo kemudian berpentas keliling, hampir ke seluruh wilayah Sumatera Utara.
Grup ini bagaikan induk bagi kelompok Opera Batak yang belakangan bermunculan di Sumatera Utara. Mereka yang mendirikan grup Opera Batak biasanya jebolan dari Serindo.
Bak bintang film
   Sejak masih belia, Zulkaidah bercita-cita ingin bergabung dengan Opera Batak. Ia mengenal seni tradisi lisan itu ketika Serindo bermain keliling di seluruh wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara.
”Waktu itu saya tengok (lihat), mereka itu (pemain opera) seperti bintang film,” kata nenek yang usianya sudah menginjak 65 tahun itu.
Kecintaannya kepada Opera Batak bermula karena ia sering melihat pertunjukan tersebut. Jika tidak punya uang untuk membeli karcis, ia sampai nekat menerobos pagar yang mengelilingi panggung.
Ia kemudian bertekad mengikuti ke mana pun Serindo berpentas dengan melamar menjadi juru masak di Serindo. Pada malam hari dia menjaga anak-anak para pemain Serindo yang sedang pentas.
Suatu hari, kemampuannya bermain Serunai dan menyanyikan lagu-lagu khas Tapanuli menarik perhatian Tihang Gultom. Zulkaidah kemudian diminta pentas, bergabung dengan Serindo, bahkan kemudian menjadi salah satu primadona Serindo.
Namun, nasib baik tidak berpihak pada seni pertunjukan tradisi di Tanah Air, yang perkembangannya kemudian kalah oleh hiburan televisi dan bioskop. Pada awal tahun 1980-an ketika televisi masuk Pulau Samosir, Serindo goyah. Dalam kurun hanya beberapa tahun, Serindo yang menghidupi 50 anak panggung itu tidak mampu bertahan.
Pada masa sulit tersebut, banyak anak panggung Serindo yang berpindah ”kapal” mencari penghidupan lain yang lebih layak. Namun, Zulkaidah yang mendapat amanat dari Gustaf Gultom, pimpinan Serindo sebelumnya, memilih untuk bertahan.
Sawah, ladang, dan ternak miliknya dia korbankan agar Serindo bisa tetap berpentas meski tak banyak lagi penontonnya. Sampai akhirnya harta benda yang dia miliki hanyalah pakaian yang melekat di badan, di samping setumpuk utang.
Berjualan
Masa jaya Serindo dan Opera Batak tampaknya telah lewat. Ketika akhirnya memutuskan kembali ke Tapanuli Selatan setelah dibujuk saudaranya, Zulkaidah bertekad memperkenalkan kembali Opera Batak, terutama kepada generasi muda. Sambil berjualan kacang dan tuak keliling kampung, ia tidak lupa memainkan lagu-lagu yang pernah dibawakannya saat berpentas dulu.
Suatu hari tiupan serunai Zulkaidah sambil berjualan mengundang kekaguman Rizaldi Siagian, etnomusikolog dan musikus. Rizaldi lalu mengajak Zulkaidah berpentas ke Jepang pada tahun 1989, kemudian ke Amerika Serikat tahun 1991.
Lawatannya selama dua minggu di masing-masing negara itu pada kenyataannya tidak mampu mengubah nasib perempuan yang hanya bersekolah di Sekolah Rakyat ini meskipun Zulkaidah punya kemampuan luar biasa dalam bermusik.
Kembali dari luar negeri, dia berjualan lagi, bermain sebagai pemusik keliling, dan menjadi buruh tani. Namun, bagi Zulkaidah, uang tidak menjadi kendala untuk menghidupkan kembali Opera Batak.
”Saya masih punya ilmu untuk diturunkan,” ujarnya.
Kini, dalam usianya yang renta, Zulkaidah rela bolak-balik dari rumahnya di Tiga Dolok, Tapanuli Selatan, ke Pematang Siantar, yang membutuhkan waktu perjalanan sekitar satu jam. Semua itu demi mengajar mahasiswa yang ingin belajar Opera Batak. Dia juga kerap diundang ke Jakarta untuk ikut bermain Opera Batak bersama rekan-rekannya di PLOT.
Zulkaidah mungkin belum bisa menyaksikan Opera Batak kembali menguasai panggung pertunjukan seperti pada masa keemasannya dulu. Namun, dia kini bisa sedikit bernapas lega karena sudah memiliki ”panggung” lain, yaitu mengajarkan ilmunya bermain serunai, menyanyi, dan manotor (menari) kepada generasi muda meski tanpa dibayar atau kadang-kadang bayarannya tidak cukup untuk menghidupinya.

Senin, 23 April 2012

Menyapa Rakyat, Merawat Tanah Air
 
 ROSARITA NIKEN WIDIASTUTI
Dalam sejarah Radio Republik Indonesia, Rosarita Niken Widiastuti tercatat sebagai perempuan pertama yang menjadi direktur utama lembaga penyiaran itu. Niken bersama seluruh angkasawan RRI setia menyapa rakyat di berbagai pelosok negeri setiap hari.
Rosarita Niken Widiastuti rupanya kukuh benar memegang semboyan RRI: ”Sekali di udara tetap di udara”. Ia rela tinggal terpisah dengan keluarga demi RRI yang telah 30 tahun menjadi bagian dari hidupnya.
Suami dan anak bungsunya tinggal di Yogyakarta, kota asal Niken dan suami. Anak sulungnya bekerja di Palu, Sulawesi Tengah. Anak keduanya kuliah di Bandung, Jawa Barat. Sedangkan Niken berada di Jakarta. Karena itulah, setiap akhir pekan Niken kembali ke Yogyakarta.
Keterpisahan ruang bukan masalah bagi seorang angkasawan seperti Niken karena siaran RRI dengan 77 stasiun radio yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia menjangkau berbagai wilayah di negeri ini.
Bukankah tekad menyapa rakyat itu terucap setiap hari dalam pembuka siaran, ”...Saudara pendengar di seluruh Nusantara atau di mana pun suara kami dapat ditangkap....”
Itulah yang dilakukan Niken bersama angkasawan RRI. Bermarkas di Jalan Merdeka Barat, Jakarta, RRI berusaha merengkuh pendengar hingga ke pulau-pulau terpencil yang boleh jadi belum pernah dijamah orang- orang penting di Jakarta.
RRI, misalnya, melayani pendengar di Tahuna, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Sekitar 100.000 warga Tahuna menjadikan radio tak sekadar media massa, tetapi juga sarana komunikasi personal. Warga Tahuna mengudarakan kebutuhan mereka akan semen lewat RRI. Lalu, pemasok di Manado mengabarkan pengapalan semen melalui RRI pula.
”Dari Tahuna ke wilayah Filipina hanya perlu sekitar satu jam dengan speedboat, sedangkan ke Manado bisa sampai sembilan jam,” katanya.
Sedangkan di Pulau Sebatik, Kalimantan Timur, yang berbatasan dengan Malaysia, RRI lebih banyak mengudarakan informasi yang berkaitan dengan rasa kebangsaan. RRI mengudarakan lagu-lagu perjuangan untuk menumbuhkan rasa cinta Indonesia.
Pasalnya, warga di Sebatik bisa menangkap siaran radio dari Malaysia dengan jelas. Kekuatan pemancar radio Malaysia bisa 25-40 kilowatt, cukup penetratif menjangkau telinga warga di perbatasan itu.
”Kalau RRI tidak gencar, lalu bagaimana kita bisa menyalahkan warga kalau mereka tak paham Pancasila, tidak tahu presidennya? Apalagi berbagai kebutuhan sehari-hari warga pun praktis tersedia dari Malaysia,” cerita Niken.
Sabuk pengaman
Tak hanya melayani pendengar lewat udara, demi rasa kebangsaan, RRI pun mengadakan berbagai acara di luar studio. RRI mengadakan lomba menghafal Pancasila dan lomba menyanyikan lagu-lagu perjuangan dengan hadiah radio transistor dan bendera Merah Putih.
”RRI itu bisa dibilang sabuk pengaman informasi di perbatasan. Ibaratnya, kalau patok tanah dipindahkan negara tetangga, rasa kebangsaan kita pasti tergugah,” katanya.
Niken lalu mengajak kita bertimbang rasa bagaimana kalau informasi yang dipancarkan radio negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, Filipina, dan Australia, mampu memengaruhi pikiran, karakter, dan perilaku warga negara Indonesia yang tinggal di daerah perbatasan.
”Kalau RRI tidak kuat, lalu ’patok pikiran’ informasi warga kita di perbatasan itu diambil bangsa lain, ini berbahaya. Ini bisa mengubah pola pikir masyarakat perbatasan terhadap bangsanya sendiri, Indonesia,” ujar Niken yang bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk penyediaan lahan dan pembangunan stasiunnya.
Itulah mengapa sejak tahun 2008 pendirian stasiun penyiaran di daerah perbatasan menjadi prioritas RRI. Ini pula yang terus dikembangkan Niken, yang menjadi Dirut RRI sejak Oktober 2010.
Maka, sejak pendirian stasiun penyiaran di Entikong, Kalimantan Barat, menyusul pula pendirian stasiun di daerah perbatasan lainnya, seperti Nunukan (Kalimantan Timur), Tanjung Pinang (Riau), Skow, Boven Digoel, Kaimana (Papua), Atambua (Nusa Tenggara Timur), dan Saumlaki (Maluku).
Selain mendirikan stasiun di daerah perbatasan, RRI juga mendirikan perwakilan di berbagai negara. Perwakilan RRI di Hongkong, misalnya, diperlukan antara lain untuk mewadahi komunikasi bangsa ini dengan warganya yang bekerja sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI).
”Kami membuat acara yang memungkinkan mereka bisa berkomunikasi dengan keluarga di Tanah Air. Kami juga memediasi bila terjadi masalah antara TKI dan perusahaan atau pejabat instansi terkait,” kata Niken.
Informasi dari para kontributor itu muncul antara lain lewat acara ”Kiprah Anak Bangsa” dan ”Kampung Halaman”. Para kontributor RRI di luar negeri itu berasal dari latar belakang yang beragam.
Di Hongkong, misalnya, relawannya TKI lulusan SMP. Di Taiwan, kontributor RRI adalah mahasiswa Indonesia yang tengah studi S-2 dan S-3. Di India, wakil duta besar menjadi kontributor, sedangkan di Jepang, kontributor bergelar doktor dan dosen.
Perempuan pertama
Niken mengawali karier sebagai penyiar RRI di Yogyakarta selama sembilan tahun sejak 1982. Alkisah suatu kali Niken akan mengikuti lomba menyanyi di RRI. Saat itu secara tak sengaja ia membaca pengumuman tentang lowongan bekerja di RRI. Itulah langkah pertamanya menjadi angkasawati. Karier Niken terus menanjak hingga menjadi direktur utama.
Kecintaannya pada radio antara lain muncul saat banyak orang mengatakan, RRI tak lagi punya pendengar. Waktu itu, tahun 1987-1988, bersama temannya, Darmanto Kecik, Niken dengan upaya sendiri mengadakan penelitian. Dia menyebarkan 1.000 kuesioner. Hasilnya, 70 persen responden masih mendengarkan RRI.
Selain menjadi penyiar, Niken juga menjadi penulis naskah, pengarah acara, dan produser. Dia juga suka menyanyi.
Pindah dari Yogyakarta, Niken menjadi direktur program dan produksi sejak tahun 2005 di Jakarta. Itu pilihan yang sulit karena harus meninggalkan keluarga di Yogyakarta.
”Tetapi, suami saya bilang, inilah saatnya dia mengurus ketiga anak kami. Sebelumnya memang sayalah yang lebih banyak menghabiskan waktu bersama anak-anak,” ceritanya.